Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa ada beberapa risiko yang ditanggung Indonesia apabila harus menunggu kontrak PT Freeport habis, yakni pada 2021.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan bahwa isi dari kontrak kerja yang telah ditandatangani pemerintah dan PT Freeport Indonesia terdapat klausul terkait dengan perpanjangan kontrak. Klausul terseut juga tertuang dalam pasal 31 ayat 2.
Dalam klausul tersebut PT Freeport berhak untuk melakukan perpanjangan kontrak selama dua kali 10 tahun. Dan posisi pemerintah tidak dapat menolak atau menunda dengan alasan yang kuat. Alasan tersebut yang berpotensi terjadi sengketa.
Sebenarnya, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase. Namun tidak ada jaminan pemerintah menang dalam arbritase. Kendala lainnya adalah waktu arbitrase tersebut memakan waktu yang lama yakni antara satu hingga dua tahun. Di sisi lain tambah tidak dapat berhenti.
Risiko lainnya yang akan ditanggung oleh pemerintah adalah biaya yang dibutuhkan untuk memulai pertambambangan dari awal akan menelan biaya yang sangat tinggi. Hal ini karena semua aset milik Freeport akan dibawa. Dan pengadaan peralatan tambang membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang juga besar.
Jika aset berupa peralatan produksi tambang tidak dibeli, operasional akan berhenti dan untuk recovery membutuhkan biaya tinggi.
Karena alasan tersebut akhirnya pemerintah memberikan perpanjangan operasional dengan beberapa syarat. Antaralain mengubah kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Selanjutnya adalah PT Freeport wajib memangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian di Indonesia selama 25 tahun.
Syarat lainnya adalah penerimaan negara harus lebih baik daripada saat ini. Adapaun pemerintah melakukan investasi sebesar 51 persen. Dalam divestasi tersebut, pemerintah daerah juga berhak mendapatkan 10% atas 51% saham untuk negara.