Dikabarkan bahwa belum adanya dokumen perencanaan khusus dari pemerintah pusat terkait investasi hijau. (Merdeka.com)

Investasi hijau di Indonesia mengalami kendala serius, dengan realisasi yang jauh di bawah target yang ditetapkan. Menurut hasil penelitian terbaru dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dari target investasi energi bersih sebesar USD8 miliar, pemerintah hanya mampu menarik investasi sebesar USD1,62 miliar. Penelitian ini menyoroti bagaimana dominasi industri ekstraktif menjadi penghambat utama bagi perkembangan investasi hijau di tanah air.

Peneliti KPPOD, Sarah Nita Hasibuan mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen perekonomian nasional masih sangat bergantung pada industri ekstraktif. Hal ini dinilai kontradiktif dengan upaya transisi menuju energi baru terbarukan yang berkelanjutan.

“Kebijakan investasi kita masih terlalu fokus pada industri ekstraktif, yang justru menghambat perkembangan investasi hijau,” ujar Sarah dalam pemaparannya di Jakarta pada Selasa kemarin (30/07).

Sarah juga menyoroti belum adanya dokumen perencanaan khusus dari pemerintah pusat terkait investasi hijau. Saat ini, kebijakan investasi hanya didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal dan RPJMN 2025-2029 yang merujuk pada Persetujuan Paris 2015.

Meskipun pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai net zero emissions pada 2060, tanpa perencanaan investasi hijau yang jelas, target ini diperkirakan akan sulit tercapai.

Lebih lanjut, Sarah menyebutkan bahwa rencana pengurangan emisi gas rumah kaca atau Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah bakal sulit terealisasi jika kebijakan investasi masih terpecah dan tidak bersinergi antar kementerian dan lembaga. Hal ini diperparah dengan minimnya pedoman khusus mengenai investasi hijau di tingkat daerah.

“Banyak daerah yang sebenarnya siap berkontribusi, namun masih menunggu arahan dan aturan jelas dari pemerintah pusat,” tambah Sarah.

Di sisi lain, pemerintah justru tampak lebih fokus pada industrialisasi sektor ekstraktif, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam ASEAN Investment Forum 2023. Dengan nilai investasi sektor ini mencapai USD545,3 miliar hingga 2040, arah kebijakan investasi Indonesia tampak lebih condong ke industri berbasis bahan bakar fosil daripada ke investasi hijau.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun investasi hijau menjadi jargon utama dalam rencana pembangunan berkelanjutan, realisasinya masih jauh dari harapan. Dominasi industri ekstraktif dan kurangnya sinergi antar kebijakan investasi hijau menjadi tantangan utama yang perlu diatasi oleh pemerintah.

Demikian informasi seputar perkembangan investasi hijau di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Androidbo.Com.