Dua pakar IPB Prof Bambang Hero Saharjo dan Dr Basuki Wasis digugat dengan total Rp 3,51 triliun. Basuki digugat oleh terdakwa korupsi Nur Alam yang sebelumnya telah divonis 15 tahun penjara, sementara Bambang digugat oleh pembakar hutan PT JJP.

Bambang saat merupakan anggota Dewan Guru Besar IPB dengan mengantongi gelar Prof Dr Ir MAgr. Pria kelahiran Jambi 10 November 1964 merupakan Guru Besar di bidang Perlindungan Hutan. Bambang menyelesaikan gelar S1 di Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1987 dan melanjutkan program Master di Divisi Pertanian Tropis Kyoto University pada tahun 1996.

Untuk gelar S3 ia dapatkan dari Laboratorium Tropical Forest Resources and Environment, Division of Forest and Biomaterial Science Kyoto University pada tahun 1999.

Berbekal pendidikan tersebut, Bambang diminta menjadi ahli untuk menganalisa berbagai kebakaran yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah yang terjadi di Riau di atas lahan milik PT JJP.

Pada sidang yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Bambang menyatakan bahwa PTT JJP adalah penyebab dari kebakaran hutan yang terjadi di Riau.

“PT WAJ mengapakan keuntungan (atas kebakaran tersebut) karena tidak mengeluarkan biaya yang harusnya digunakan jika melakukan pembakaran lahan tanpa bakar,” ungkap Bambang saat itu.

Hakim akhirnya mengamini dan meyakini kebenaran dari saki ahli, yakni Bambang dan menghukum PT JJP Rp 500 miliar. Tidak terima atas tuntutan tersebut, PT JJP menggugat Bambang sebesar Rp 510 miliar.

Sementara Basuki merupakan ahli silvikultural dengan gelar Dr Ir MS serta dosen tetap untuk jurusan Pengelolaan Nutrisi Hutan, Pengelolaan Kualitas tempat Tumbuh.

Gugatan yang ditujukan ke Basuki akibat dirinya menjadi saksi ahli dari KPK dan mengeluarkan surat para 4 Oktober 2017. Surat tersebut merupakan hasil Laporan perhitungan Kerugian Akibat Kerusakan Tanah dan Lingkungan Akibat Pertambangan PT AHB Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

Menurut Basuki, izin yang dikeluarkan oleh Nur Alam menyebabkan kerusakan lingkungan dengan nilai lebih dari Rp 4 triliun. Analisa Basuki tersebut kemudian diyakini Hakim Pengadilan untuk memperberat hukuman Nur Alam dari yang semula 12 tahun menjadi 15 tahun penjara. Nur Alam tidak terima dan menggugat Basuki sebesar Rp 3,01 triliun.