Proyek PLTSa sebagai solusi sampah menjadi energi terbarukan menghadapi tantangan besar dalam hal investasi dan pengelolaan yang efektif. (upstdlh.id)

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan investasi dan keberlanjutannya dalam rencana transisi energi nasional. Data terbaru dari RUPTL 2025-2034 menunjukkan adanya penurunan kapasitas proyek PLTSa secara signifikan, dari target semula 518 MW menjadi hanya 453 MW.

Hal itu mencerminkan bahwa teknologi itu tidak lagi menjadi prioritas utama dalam peta jalan kelistrikan nasional.

Meskipun pemerintah berupaya mendorong proyek PLTSa melalui regulasi dan pendanaan di 33 provinsi, kendala besar tetap ada. Dalam hal ini, proyek PLTSa menghadapi ketertarikan investasi yang minim dan biaya pembangunan yang lebih tinggi dibandingkan teknologi energi terbarukan lainnya.

Di sisi lain, hanya dua proyek PLTSa yang telah beroperasi, yakni di Surakarta dan Surabaya, menunjukkan perlunya pembaruan dan perbaikan dalam manajemen serta pengelolaan sampah.

Tantangan Pembiayaan dan Keekonomian Proyek PLTSa

Kendala utama lainnya adalah pembiayaan proyek PLTSa yang cukup rumit. Pemerintah berencana menggunakan Patriot Bond sebagai instrumen pembiayaan strategis, mirip dengan model yang diterapkan di negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat.

Namun, meskipun ada inisiatif dari pihak swasta, seperti yang diungkapkan oleh CEO BPI Danantara, tetap saja tantangan terkait keekonomian dan harga listrik dari sampah menjadi isu besar.

Skema proyek PLTSa memerlukan investasi besar, dengan biaya pembangunan mencapai US$5 juta hingga US$13 juta per megawatt. Biaya tinggi tersebut membuat proyek ini sulit menarik investor, terlebih karena isu pengelolaan sampah yang tidak hanya terpusat di tempat pembuangan akhir, tetapi juga harus mencakup pemilahan di rumah tangga.

Proyek PLTSa, meskipun menjanjikan solusi terhadap masalah sampah dan transisi energi bersih, masih menghadapi banyak tantangan, terutama dalam hal investasi dan keberlanjutan pengelolaan. Penurunan kapasitas dalam RUPTL 2025-2034 menjadi sinyal bahwa sektor ini memerlukan perhatian lebih dari pemerintah dan sektor swasta.

Untuk itu, dibutuhkan kebijakan fiskal yang lebih mendalam dan skema pembiayaan yang tepat untuk mengatasi krisis sampah dan menyediakan energi terbarukan secara efisien.

Demikian informasi seputar perkembangan proyek PLTSa di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Androidbo.Com.